Kamis, 03 November 2011

AXIS Java Jazz Festival 2011 : Words Can’t Express Its Impression Enough!


WOW!!! Cuma itu yang bisa saya ungkapkan! Saya betul-betul speechless. Menghadiri AXIS Java Jazz Festival tahun 2011 ini merupakan pengalaman tak terlupakan untukku. Banyak sekali kesan. Amat kaya makna. Saya datang ke Jakarta International Expo, Kemayoran, tanggal 6 Maret 2011 lalu dengan pengetahuan yang sangat miskin, tapi berlalu dari sana dengan ribuan wawasan dan pengalaman baru. Begini ceritanya.
Saya sudah menceritakan singkat pada blog saya sebelum ini apa-apa saja yang saya alami mulai dari berangkat hingga pertengahan acara. Sekarang, dalam tulisan ini, akan saya paparkan detailnya. Saya mohon kesabaran kalian semua membacanya. Mungkin akan agak panjang, tapi kalau kalian mau ikuti, kalian akan mengerti excitement saya, malah barangkali (mudah-mudahan!) akan ikut excited!
Akan saya kisahkan cepat saja apa yang sudah saya ceritakan di blog sebelumnya tentang proses keberangkatan saya. Cuma berbekal tiket gratis hasil mengikuti AXIS RTJJF Blog Competition, uang sedikit sekadar untuk ongkos PP Bandung-Jakarta-Bandung, dan tas yang dipadati bekal makanan bungkus (dalam rangka penghematan supaya tak usah beli makan di jalan, hehe!) dan juga pakaian ganti serta beberapa barang lainnya, saya menempuh perjalanan jauh ke JIE. Terus terang, seperti saya tulis di blog yang lalu, porsi terbesar tujuan saya sebenarnya adalah informasi yang memadai untuk bisa ditulis dalam final kompetisi blog ini, agar dapat memenangkan Galaxy Tab, atau paling tidak, Blackberry Gemini. Sedangkan untuk menikmati musik jazz, apalagi untuk memperoleh pengalaman dan wawasan baru, sangat-sangat kecil saya harapkan.
Setelah sempat kecele dengan jadwal kereta, putar-putar beberapa jam di tengah kota Jakarta akibat tidak tahu jurusan angkutan, akhirnya jam 4 sore tepat saya bisa tiba juga di gate utama JIE. Jadi, dihitung-hitung, total lama perjalanan saya itu delapan setengah jam, sebab saya berangkat dari rumah di Bandung jam setengah delapan pagi. Fuuiihhh!!
Sesuai instruksi dalam selebaran pada paket tiket gratis yang dikirimkan AXIS, sebelum masuk gate, saya lebih dulu mendatangi Loket Penukaran AXIS. Di situ saya diberikan kit yang berisi brosur-brosur dan sebuah paket schedule konser yang dilengkapi denah ringkas JIE. Lumayan, ada gratisan lagi! Soalnya, kalau bukan karena dapat hadiah dari AXIS, schedule itu harus dibeli.
Saya sungguh terkesan dengan ketatnya pengamanan yang dilakukan, mulai dari gate depan hingga dalam arena dan hall-hall. Sampai-sampai, petugas keamanan di gate depan yang memeriksa tas saya meminta saya menyerahkan botol-botol air minum bekal saya! (Eh, ternyata bukan karena alasan keamanan, melainkan karena alasan sponsor, sebab, katanya, di dalam arena dijual produk-produk minuman sponsor, hehehe!) Yang lebih membuat saya respek ialah sikap para petugas yang ramah, santun, dan responsif sekali dalam memberi informasi yang saya tanyakan. Maklum, wong ndeso (atau, kalau istilah di Bandung: urang lembur) masuk arena kota megapolitan nan keren, jadi saja agak norak, mesti tanya sana-sini biar nggak salah antara pintu toilet dengan pintu hall pertunjukan, hihihi! (Bukan “agak” lagi, tapi memang sudah “betul-betul” norak, hahahaha!!) Sewaktu masuk ke arena utama, si cantik Fraya sedang tampil di stage depan. Cukuplah, buat menceriakan suasana hati saya yang sedang kelelahan sehabis putar-putar nyasar tak karuan di jalan!
axis-lounge-best
AXIS Lounge
Seperti yang saya ceritakan di blog sebelum ini, tempat pertama yang saya tuju ya jelas AXIS Lounge. Bukan apa-apa. Saya ke situ buat menukarkan Free Coupon Snack & Drink yang ada di lembar schedule, berhubung saya sudah letih sekali, mana haus banget pula, tidak punya lagi air minum, tambah lagi agak lapar juga jadinya. Jadi, sepiring kecil peanut butter dengan segelas ice lemon tea cukup memberi sedikit spirit kembali untuk menjelajahi festival musik akbar itu. Sebentar saja cemilan itu habis saya lahap, padahal saya sudah sangat jaga image, jangan terlalu kentara laparnya, karena di dekat-dekat tempat saya duduk itu banyak kru AXIS, mana di antaranya ada beberapa AXIS girls yang cantik-cantik pula! Gengsi dong kalau sampai kelihatan rakus! Namun tetap saja, cuma 4 menit lebih sedikit peanut butter dan lemon tea habis! Maklum, lapar dan letih membuat saya memperlakukannya bukan sebagai cemilan lagi, tapi sudah jadi makan siang!
Snack peanut butter & soft drink ice lemon tea: all free! Mmm, yummy!!
Snack peanut butter & soft drink ice lemon tea: all free! Mmm, yummy!!
Meski begitu, saya sempat juga menikmati lantunan lagu dan musik yang dimainkan di atas panggung AXIS Lounge oleh para artis yang belakangan saya ketahui adalah para pemenang AXIS Road to Java Jazz Festival dan Youtube Contest. Penampilan mereka ternyata sama sekali tidak mengecewakan, malah terkesan profesional sekali, sudah mirip artis-artis papan atas. Sungguh, bakat-bakat di tanah air ini begitu potensial dan begitu banyak! Sayang, uang dan kesempatan hanya dimiliki segelintir saja. Di situ saya jadi terbawa dalam satu perenungan singkat, betapa banyaknya tiap hari, tiap bulan, tiap tahun, tiap windu, tiap dasawarsa, dan tiap generasi talenta-talenta yang terbuang sia-sia, entah di jalanan, di ujung jarum suntik narkoba, atau di penjara. Atau barangkali malah terjebak di rumah saja, atau di perkantoran, barangkali?…
Cukup dengan refleksi singkat itu, saya kembali turun ke bawah. Detail kisahnya bisa kalian baca di blog saya persis sebelum ini. Pendeknya, saya menemui wanita yang punya gawean buat ajang kompetisi blog AXIS Java Jazz, dan diberi sedikit “tugas” menulis blog singkat di salah satu laptop yang tersedia di Internet Access Centre di lantai bawah AXIS Lounge itu. Sesudah beberapa menit menulis, saya teruskan rencana saya berkeliling JIE, memantau sebanyak mungkin pertunjukan yang digelar.
Yang pertama saya masuki itu Hall D1 yang persis ada di sebelah AXIS Stage di Hall D2. Di situ ternyata sedang bermain Kahitna. Waktu saya masuk, band yang diawaki antara lain oleh Jovie Widianto, Hedi Yunus, dan Carlo Saba itu baru menyelesaikan tembang mereka, “Andai Dia Tahu”, yang dibawakan bersama penyanyi muda yang sedang menanjak, Alika. Habis itu, mereka langsung menyambung dengan hits mereka: “Katakan Saja”. Penonton yang menyaksikan mereka membludak! Saya sendiri cuma mendapat tempat di pojok kanan belakang, dekat pintu masuk, saking penuhnya hall. Tapi memang saya sudah punya rencana tidak akan terlalu lama di satu tempat juga sih. Jadi saya ambil kesempatan untuk mengambil beberapa foto saja, kemudian keluar untuk cari pertunjukan lain.
Penampilan Kahitna dari kejauhan. Sangat jauh, sampai-sampai susah ditangkap kamera HP primitif saya, hehe!!
Penampilan Kahitna dari kejauhan. Sangat jauh, sampai-sampai susah ditangkap kamera HP primitif saya, hehe!!
Oh, ya, sebelum saya lanjut, perlu saya tambahkan singkat, Kahitna saya tonton sebelum saya menemui wanita kru AXIS dan menulis blog di Internet Access. Itu saja. (Penting nggak sih??)
Berikutnya, saya menyeberang ke sayap satunya lagi, yang berlawanan dengan sayap tempat Hall AXIS berada. Waktu itu, hari sudah mulai gelap. Begitu saya mau masuk, saya agak tertegun, sebab pintu masuk ditutup dan dihalangi penjaga. Dalam beberapa detik saya tahu, ternyata itu karena ruangan pertunjukan sudah penuh sesak, jadi kalau ada yang mau masuk, harus tunggu ada yang keluar dulu. Untung, banyak orang yang sepikiran dengan saya: tidak mau lama-lama di satu pertunjukan. Jadi saya tidak perlu terlalu lama menunggu untuk dapat masuk. Saya penasaran juga, siapa yang main, sampai-sampai penonton pada membludak, lebih daripada yang di hall tempat Kahitna tadi. Pas di dalam, ternyata eh ternyata, Andra & The Backbone (ATB) sedang manggung!
Andra & The Backbone! Juga kurang jelas, maaf ya, hiii!!
Andra & The Backbone! Juga kurang jelas, maaf ya, hiii!!
Sama dengan Kahitna, begitu saya masuk, ATB baru selesai menyanyikan tembang andalan mereka, “Hitamku”, dan setelah itu membawakan hits mereka: “Sempurna”. Dan “sempurna”lah jerit histeris dan aplaus massa penonton (kecuali saya, hoho!)! Biarpun cukup atraktif dan komunikatif, tapi di dalam saya tetap berlaku adaptif, sedikit primitif, hanya mengambil beberapa gambar via kamera HP seadanya (karena cuma itu yang saya punya, tapi lumayan lah!) secara intuitif, tanpa menjadi permisif dengan musik mereka yang sebenarnya tidak jazzy, namun tetap dengan sikap hormat yang apresiatif terhadap seni mereka yang mampu menyentuh hati yang sensitif. (Mudah-mudahan kalimat saya barusan tidak berkesan sok kontemplatif dan tentatif!)
Ketika keluar dari hall tempat ATB manggung ―yang juga cuma sebentar saya kunjungi―, saya tiba-tiba merasa agak gamang. Jadi saya jalan-jalan dulu di court yang ada di tengah-tengah arena. Kebetulan yang terdekat adalah food court. Saya sih sebetulnya sama sekali tidak berniat beli makanan, berhubung saya bawa bekal, dan uang saya juga takkan cukup membeli bahkan secangkir kopi Starbucks sekalipun. Yang saya cari hanyalah sekadar hawa segar dan selingan. Yang saya dapat ternyata satu tambahan rasa gamang! Food court begitu penuh orang juga! Saya jadi berpikir, apakah saya ini sudah agorafobi?! Sambil mau tak mau merenung, saya menelusuri selasar food court, sembari sekali mengambil gambar keramaiannya.
Food Court yang sangat padat & ramai, meski cukup mahal-mahal...buat saya, heee!!
Food Court yang sangat padat & ramai, meski cukup mahal-mahal…bagi saya, heee!!
Suasana dalam court tempat stand-stand sponsor; sama juga: rame! Wuiihh!!
Suasana dalam court tempat stand-stand sponsor; sama juga: rame! Wuiihh!!
Sesampai di ujung, saat mau masuk court kedua yang berisi stand-stand para sponsor, saya baru sadar, kegamangan saya bukanlah karena keramaian, melainkan karena keganjilan yang terjadi. Ternyata bahkan dalam ajang seni tingkat tinggi berkaliber internasional macam AXIS Java Jazz Festival pun imperialisme dan hukum pasar meraja! Yah, untuk tujuan komersial, sah-sah saja sih panitia yang dipunggawai Pak Peter Gontha merekrut banyak artis non-jazz, serta menggaet banyak vendor ―termasuk makanan dan gadget― untuk meramaikan event akbar tersebut. Bagaimanapun, profit memang yang dituju, dan itu tidak salah sama sekali. Hanya saja, saya jadi bertanya-tanya, bilamana idealisme murni ditegakkan, bilamana misalnya ajang pesta jazz seperti AXIS Java Jazz itu benar-benar hanya dan belaka diisi pertunjukan jazz, tanpa diembel-embeli segala macam pemanis yang porsinya malah amat terkesan lebih besar daripada jazz-nya sendiri, akankah tetap menarik? Masih atraktifkah ajang idealis semacam itu? Mustahilkah terjadi: ada ajang pertunjukan yang murni dan idealis tapi tetap memikat orang? Kalau tidak mustahil, siapakah yang akan memelopori idenya, dan kapan?
Aaahh, sudahlah! Daripada mikir yang nggak-nggak, lebih baik saya nikmati saja apa yang ada.
Setelah sejenak melihat-lihat beberapa stand di court tengah yang kedua itu, seraya memfoto beberapa, saya kembali ke sayap AXIS, namun kali itu agak ke depan, karena AXIS Hall itu ada di paling ujung. Saya masuki salah satu hall yang sedang ada pertunjukan. Ternyata yang sedang bermain di situ adalah Jeff Lorber dan rekan-rekannya. Nah, akhirnya, pikir saya, ketemu juga atmosfer jazz yang asli!
Jujur, saya pribadi tidak terlalu suka jazz yang terlalu pure jazz. Buat saya, musik seperti itu kurang bisa dinikmati, sebab saya sendiri tidak mengertinya. Saya sih, secara global, suka musik, apa pun jenisnya. Cuma tidak semua saya apresiasi secara sama. Ada yang saya bisa nikmati, ada yang seperti pure jazz: kurang bisa saya dalami dan nikmati namun tetap saya hargai karena kualitas musikalitasnya yang memang tidak terbantahkan. Jadi, saya masuk ke hall itu lebih sekadar memuaskan rasa ingin tahu, sekalian cari bahan tulisan untuk blog ini.
Jeff Lorber & partners. Penoreh pertama kesan mendalam akan jazz di hati saya!
Jeff Lorber & partners. Penoreh pertama kesan mendalam akan jazz di hati saya!
Yang tidak saya nyana sama sekali adalah apa yang terjadi pada diri saya di dalam hall itu. I got it! I finally feel it! I can sense it! I can taste it, touch it, smell it, not just see and hear and listen to it! Seolah roh jazz merasuki saya! Oh, oh, ternyata!! Ternyata, untuk dapat menikmati jazz, rupa-rupanya orang harus mengalami ini dulu: hadir langsung, live, di tempat pertunjukannya! Ya, itulah yang saya alami! Itu juga yang berani saya simpulkan sudah, akan, dan semestinya dialami orang-orang lain untuk “mendapatkan” jazz bagi jiwa!
Menonton di televisi, apalagi mendengar audio saja lewat radio, tape, MP3 player, iPod, atau media apa pun, sungguh berbeda dengan menyaksikan langsung. Penampilan live jazz niscaya menyajikan musik itu hidup-hidup ke depan kita. Permainan semua para jazzer yang ekspresif betul-betul menular. Eksitasi penabuh drum dengan stiknya yang mengentak lembut namun ceria, ekspresi kepuasan gitaris pada tiap petikan jarinya, gaya sepenuh hati dan sarat bahasa tubuh Lorber sendiri dalam memainkan keyboard (dan kemudian akordeonnya) dengan kepenuhan yang sama; semua itu memenuhi atmosfer panggung sampai ke pojok-pojok ruangan dengan aura jazz! Ya, saya “mendapatkan” jazz pertama kali dalam hidup saya pada momen itu, kala menyaksikan Jeff Lorber dan para rekannya berkiprah! Hanya satu yang saya sayangkan: panggung tempat saya pertama kali puas bercumbu dengan jazz ini justru sangat sepi pengunjung. Paling-paling hanya sekitar empat puluh sampai lima puluhan orang yang hadir. Di satu sisi, itu membuat saya dapat berada dekat sekali dengan panggung, sehingga saya merasa amat berterimakasih, tapi di sisi lain, saya trenyuh melihat begitu sedikitnya peminat bagi permainan murni nan berkualitas ini.
Walau demikian, saya pun memutuskan tidak mau berlama-lama di hall tersebut. Jadi saya keluar lagi. Tapi saya keluar sudah dalam keadaan yang berbeda sekali. Karena saat keluar, saya merasa sudah siap menikmati jazz!
Saya pun beranjak ke hall di sebelahnya. Dan memang sudah ditentukan bahwa saya harus menjiwai jazz. Hall tersebut sudah mulai setengah penuh, dan penonton dengan cepat bertambah terus. Dalam hitungan detik, ketika melihat schedule di tangan, saya baru tahu, ternyata karena saat itu mau mulai pertunjukan sang grup jazz fenomenal: Fourplay!
Fourplay in action! Forgive me, mates, my capture was so contrast to their outstanding performing!
Fourplay in action! Forgive me, mates, my capture was so contrast to their outstanding performing!
MC mengumumkan anjuran supaya penonton duduk saja di lantai. Orang-orang pun, terutama yang kedapatan atau sengaja mengambil tempat di bagian belakang, mulai ikut-ikutan ramai berteriak-teriak: “Duduk! Duduk!” pada penonton di depan. Saya pun bergegas minggir, takut nanti kejebak dan susah keluar kalau pertunjukan sudah dimulai. Dengan sedikit mendesak-desak penonton lain, saya menuju ke bagian belakang, agar saya bisa keluar dengan gampang, karena saya tetap mau sebentar saja. Wah, ternyata, antusias penonton Fourplay itu bukan main! Ada yang sengaja pinjam kursi. Ada yang bawa anak kecilnya, tanda memang sudah niat banget datang khusus hanya mau nonton Fourplay. Cuma kira-kira semenit sesudah saya mencapai posisi yang saya anggap paling gampang buat keluar lagi, Fourplay pun mulai memainkan alat musik mereka. Hiruk-pikuk pun menggelegar! Semua berdiri memberi tepuk tangan meriah diiringi suit-suit dan teriakan histeris. Sayang, tak lama kemudian, teriakan “Duduk! Duduk!” dari banyak oknum mengikuti! Dasar kampungan! maki saya dalam hati. Padahal saya sendiri juga kampungan, hehehehe!
Benar-benar! Kalau di hall sebelumnya saya merasakan, mencium, meraba, dan mengecap jazz dari dekat panggung, waktu di Fourplay itu bahkan saya yang sudah ada di belakang dan mojok dekat tiang pun merasakan gelombang hebat jazz itu merambat di udara! Aroma, tekstur, dan citarasa jazz itu jauh lebih kuat daripada di hall Jeff Lorber! Wow!! Tidak heran ini grup jadi begitu fenomenal! batin saya. Tiap ketukan tuts piano, tiap petikan gitar, tiap tabuhan drum, yang bergantian mendominasi, sanggup memancarkan getaran kuat jiwa jazz sampai memantul kembali dari dinding hall, membuat orang-orang tambah histeris! Termasuk saya! Cuma saya berusaha redam dan jaim saja, sambil berusaha ambil-ambil foto tanpa konsentrasi akibat landaan emosional jazzy yang mengabuti ruangan.
Saya keluar dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah…!!
Langkah gontai saya yang berat hati meninggalkan Fourplay mengantarkan saya ke hall di sayap seberang. Lho, di sini juga sudah mulai penuh, dan orang-orang juga pada bergegas masuk, seperti takut kehilangan kesempatan untuk dapat tempat sedepan mungkin?! Saya intip schedule saya. Ooo, rupanya Sandhy Sandoro yang lagi naik daun itu sebentar lagi bakal manggung! Ya sudah, saya keluar dulu. Pikir saya, nanti saja saya masuk lagi buat menyaksikan penyanyi yang bisa juga dikategorikan jazzer itu.
Saya bergerak ke hall di sebelahnya. Ternyata ruangan cukup ramai, meski tidak penuh. Dan tidak seperti hall-hall lain, hall yang satu itu berkursi, sehingga para penonton yang mau nonton bisa memilih mau duduk di mana, sebab masih banyak juga yang kosong. Saya intip nama di schedule siapa yang sedang main itu. Ternyata New York Voices. Pantas!
Ada keunikan tersendiri pada masing-masing performer, tapi mereka semua juga punya satu kesamaan: mengeluarkan dan menularkan rasa, aroma, dan sentuhan jazz dari performa dan jiwa mereka sendiri secara kuat hingga orang-orang yang menyaksikan dan seluruh ruangan disarati seluruh roh jazz itu. Bedanya, kalau Jeff Lorber dkk. itu ibarat riak sungai kalau kita berarung-jeram ria, yang sanggup menghanyutkan orang-orang ke mana pun mereka membawa, kalau Fourplay itu ibarat gelombang tsunami yang kuat menghantam dan menenggelamkan semua yang ada di sekitarnya, sedangkan New York Voices itu ibarat hujan deras bernuansa badai yang takkan menghanyutkan atau pun menenggelamkan dan menghantam namun cukup kuat memukul-mukul kita dan bahkan agak “berbahaya” juga!
Seperti yang sudah-sudah, saya juga tidak lama di New York Voices. Sekali lagi, bukan karena tidak suka. Tidak! Sampai momen tersebut, saya sudah benar-benar mencintai jazz! Saya hanya sudah agak lelah, dan sedikit kelabakan juga akibat berbagai hantaman roh-roh jazz raksasa itu. Saya perlu konsolidasi diri sejenak. Perlu udara dan bernafas sedikit. Lagipula, saya pun ingin mendapat lebih banyak, yah, paling tidak, satu lagi saja, suasana jazz yang berbeda lagi.
Keinginan saya segera benar terkabul! Begitu memasuki hall di sebelah, saya mendapati satu warna jazz yang bagi saya baru: jazz latin! Perkawinan jazz dengan musik latin sendiri untuk saya sudah cukup familiar, berkat peran besar Carlos Santana. Namun jazz-latin yang ini agak beda. Di situ bermain Daniel Amat dan kawan-kawan.
Penampilan "buram" Daniel Amat & co. Bukan mereka, tapi foto saya yang buram, huuu!!
Penampilan "buram" Daniel Amat & co. Bukan mereka, tapi foto saya yang buram, huuu!!
Sekalipun sensasi yang mereka tebar sama dengan jiwa Jeff Lorber, Fourplay, dan New York Voices, tapi kekhasan mereka serupa ombak tinggi di tepi pantai untuk surfing. Orang dapat dengan aman dan nyaman berselancar pada musik mereka, kalau sudah ahli. Kalau tidak, siap-siaplah basah kuyup diterpa gelombang nada mereka nan dinamis! Dan itulah saya, sense of music saya megap-megap dipaksa menelan asinnya hentakan not mereka!
Saya menyingkir ke pojokan dengan kepayahan. Sudah, cukup dulu! Dan untung, lima menit kemudian grupnya Daniel Amat memang selesai. Saya terduduk bersandar pada dinding, tak ayal sempat juga terlontar keheranan dari kepala saya: mengapa musik sedemikian fenomenal begitu sepi pengunjung? Jauh lebih sepi daripada di Jeff Lorber. Yah, barangkali, orang tidak banyak yang mau atau berani mencoba dulu.
Sesudah sempat-sempatnya makan bekal saya di pojokan gelap hall bekas Daniel Amat dan genknya manggung itu, sementara RAN sedang menyiapkan peralatan dan take vocal, dan para penonton ―terutama para remaja― mulai berdatangan awal-awal, saya bangkit dan meninggalkan gedung. Sebenarnya, sudah capek sekali saya karena emosi yang diombang-ambing sedemikian. Tapi saya masih mau sebentar menengok Sandhy Sandoro. Hall Sandhy Sandoro penuh seperti yang memang sudah terlihat tanda-tandanya tadi sebelum ia manggung. Pengalaman saya menonton Sandhy Sandoro mirip benar dengan waktu saya melihat Kahitna dan ATB: ketika saya masuk dia sedang melantunkan hitsnya yang paling anyar, “The End of the Rainbow”, dan kemudian (sampai saya keluar lagi setelah beberapa foto saya ambil) menyanyikan hits pertamanya: “Malam Biru”. Penampilan fisiknya sendiri saya tidak bisa melihat, saking jauhnya jarak dengan panggung, layar LCD pun kurang bisa saya lihat karena terhalang kepala orang-orang. Tapi vokal khasnya lumayan menjadi siraman air yang membasuh muka perasaan saya. Itu karena warna jazz yang kental dalam suaranya. Dan memang, yang saya butuhkan untuk mendinginkan saya yang berpeluh akibat diterjang terus oleh jazz adalah guyuran sejuk tapi pelan dari jazz juga, bukan musik lain.
Sandhy Sandoro... ceritanya! Maaf sekali lagi, kawan! Sudah buram, tidak kelihatan pula Sandhy Sandoro-nya. Tapi keramaiannya itu lihat! Luar biasa antusiasnya penonton ya!
Sandhy Sandoro… ceritanya! Maaf sekali lagi, kawan! Sudah buram, tidak kelihatan pula Sandhy Sandoro-nya. Tapi keramaiannya itu lihat! Luar biasa antusiasnya penonton ya!
Dari Sandhy Sandoro, saya kembali dulu ke AXIS Lounge, hendak menyelesaikan blog yang ditugaskan untuk hari itu. Habis itu, saya duduk-duduk di Lounge, sambil menunggu antrean untuk duduk di massage chair, karena kursi pijat itu memang merupakan fasilitas bagi pemegang kartu pas AXIS seperti saya, sebab di lembar Festival Guide yang berisi denah dan schedule itu, selain ada kupon gratis snack + minuman, memang juga ada kupon gratis pijat di kursi. Sayang, emosi yang kelewat terkuras membuat saya lupa mengabadikan massage chair itu. Oh, ya, mumpung sedang menyinggung soal foto, saya perlu meminta maaf pada kalian, sebab foto-foto saya kualitasnya kurang baik. Saya memang mengambil foto dari kamera HP yang kapasitasnya serba minim, resolusinya saja cuma 1,3 megapixel. Jadi, ya, harap maklum ya, kalau hampir semuanya buram, hihihi!
Aaahh!! Nikmat sekali rasanya sesudah dipijat! Betul-betul berkurang banyak penat saya. AXIS memang baik! Tauuu aja apa yang dibutuhkan pengunjung, haha!
Tadinya, usai dipijat, saya berencana mau melihat RAN juga sebentar. Hanya sayang, saya turun dari massage chair saja sudah jam setengah sebelas malam lewat sepuluh menit. Jadinya saya internetan saja sebentar, berhubung Lounge juga sudah mau ditutup, dan laptop-laptop sudah pada dibenahi. Setelah itu, saya bersiap pulang.
Saya menyusuri food court dan terus lewat di court tempat stand sponsor. Orang-orang masih pada ramai, baik yang makan, maupun karena masih ada acara di beberapa stand. Saya sempat mampir di satu stand yang paling ramai. Di situ masih ada acara. Sebelumnya, saat saya sedang berjalan-jalan untuk pertama kali di court tengah, di stand milik salah satu merek handphone paling terkenal itu sedang diadakan talk show dengan Kahitna.
Talk-show Kahitna di stand salah satu produk HP
Talk-show Kahitna di stand salah satu produk HP
Kali ini, acaranya beda lagi. Ada hiburan berupa ajakan kepada penonton yang punya kemampuan menyanyi untuk tampil. Dan waktu saya ke situ, salah seorang penonton didorong temannya untuk maju, mengikuti undangan sang pembawa acara yang lumayan kocak itu. Ternyata si penonton yang maju terpaksa itu seorang Taiwan. Masih berusia muda. Penampilannya biasa sekali. Tapi suaranya, waauuww!! Top abiiisss!! Dia menyanyikan L.O.V.E.-nya Nat King Cole dengan bagus sekali, diiringi band pengiring yang juga tak kalah hebat memainkan alat musik. Lagu itu sangat menghibur, mampu menggoyang penonton. Saya juga tak kalah terhiburnya. Lumayanlah kembali menyegarkan saya, sekali lagi dengan sajian jazz ringan.
Agak menyesal juga saya tidak bisa menyaksikan George Benson dan Carlos Santana. Selain karena untuk menonton keduanya harus membayar tiket khusus ―yang saya kurang sanggup bayar, huhuhu!―, Santana sendiri juga tidak tampil pada tanggal 6 itu, sedangkan tiket yang saya dapat dari AXIS adalah untuk tanggal 6. Tapi tak apalah! Saya sudah mendapat sangat banyak pengalaman dari Java Jazz ini.
Selagi dalam perjalanan menuju stasiun Gambir untuk mengambil kereta paling pagi, saya punya banyak waktu untuk berpikir.
Ada satu hal yang cukup bikin saya geli. Para penampil jazz, terutama yang dari luar negeri, semuanya berpenampilan sederhana, begitu casual dan sangat seadanya, walau tetap rapi. Artis jazz Indonesia juga, di antaranya Sandhy Sandoro (juga Indra Lesmana, yang tidak saya lihat penampilannya, tapi sempat berpapasan dengan saya di jalan menuju AXIS Lounge waktu saya baru tiba), cukup sederhana tampilannya. Tapi artis Indonesia lain yang bukan artis jazz, dan juga (apalagi!) para penonton orang Indonesia, itu yang penampilannya keren-keren bin necis abis! Saya sama sekali tidak menilai hal itu salah. Tidak! Itu hak siapa pun untuk berpenampilan sesuai keinginan masing-masing. Hanya saja, memang perlu kita renungkan lagi hakikat musik jazz itu sendiri. Jazz adalah anak kandung dari blues, genre musik yang lahir dari kalangan Afro-Amerika. Namanya saja blues, kelabu. Jadi musik ini memang merupakan ekspresi haru-biru kehidupan orang-orang kulit hitam, yang banyak terdiskriminasi dan terpinggirkan, yang merindukan diakuinya persamaan mereka sebagai manusia yang tidak berbeda dengan manusia mana pun di muka bumi Tuhan ini. Kerinduan itu amat bersahaja, karena memang amat mendasar, sesuai kodrat yang memang ditetapkan Sang Pencipta sendiri. Kerinduan itulah yang mendesak kuat dalam musik. Tak heran, kesederhanaan dan egaliterian blues menurun pula pada jazz dan keturunan lainnya seperti R ‘n B dan soul. Semangat persamaan, kerendahan hati, saling melayani, yang berpangkal dari humanitarian itulah yang senantiasa dijaga benar-benar oleh para insan jazz di mana pun di dunia.
Menyangkut soal bintang, yang saya tulis dalam blog saya di AXIS RTJJF Blog Competition, tak bisa terhindari, ada makna kaya ke-bintang-an yang terkandung dalam konsistensi dan komitmen kuat untuk menjaga semangat tersebut. Seorang bintang adalah seorang yang punya konsistensi dan komitmen kuat bagi dunianya. Namun konsistensi dan komitmen itu juga sama kuat untuk hal-hal luhur lain, seperti kemanusiaan, lingkungan hidup, nilai-nilai, dan kerohanian. Carlos Santana, contohnya. Kendati saya tidak menyetujui jalur paham humanisme yang dianutnya, tapi sebagai seorang humanis juga, saya amat menghormati komitmen dan kekonsistenannya dalam menegakkan kemanusiaan. Dan itu terbukti telah mendongkrak namanya dan kualitas musiknya, karena kualitas kepribadian seseorang adalah kunci penentu kualitas segala-galanya dari dirinya, termasuk kualitas kinerjanya, kualitas kehormatannya, dan lain sebagainya.
Singkatnya, untuk menjadi bintang, bukan keglamoran yang menjadi awalnya, melainkan kesederhanaan. Semua tubuh terdiri dari sel-sel sederhana. Semua lesatan lari terdiri dari satu unit langkah kaki tunggal. Maka, membangun karakter dan mutu bukan cuma sebaiknya, tapi memang seharusnya, diawali dari hal-hal yang sepele yang ditekuni secara serius dalam jiwa yang bersahaja namun dengan keteguhan keyakinan dan visi yang sangat jelas.
Banyak sekali yang saya dapat, dan saya bersyukur, karena Tuhan sekali lagi sangat bermurah hati menganugerahi saya pembelajaran-pembelajaran baru. Pengalaman ini takkan terlupakan seumur hidup. Mudah-mudahan, AXIS Java Jazz tahun depan bisa saya hadiri kembali! Amin! (Dan yang kali ini juga bisa membuahkan Galaxy Tab atau Blackberry Gemini! Amiiiinn!! Wkwkwkwkwkwkwk!!!)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger