Senin, 14 November 2011

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Senin, 07 November 2011

Film Poconggg juga Pocong

Poconggg tidak seperti pocong-pocong kebanyakan. Sebagai pocong pendatang baru, Poconggg dianggap sebagai pocong cupu karena penakut dan -yang paling memalukan- Poconggg merupakan satu-satunya pocong yang tidak mampu menakuti manusia dan malah takut dengan sesama hantu. Anjaw -pocong senior- dan 4 anggota geng pocong sering mengintimidasi Poconggg dan membuat hari-hari Poconggg tidak berjalan lancar.

Untungnya, ada Kunti, kuntilanak paling cantik dan gaul, satu-satunya hantu yang membantu Poconggg beradaptasi dan akhirnya menjadi sahabatnya. Lebih dari itu, Kunti juga menjadi sosok hantu yang selalu menjadi tempat Poconggg berkeluh kesah ketika ia sedang diusili Anjau atau sedang galau karena Sheila

Sheila, perempuan yang paling Poconggg sayang. Sayangnya, hubungan pertemanan -yang akhirnya berkembang menjadi rasa suka, harus berakhir tragis. Poconggg belum sempat menyatakan perasaannya. Poconggg berupaya menyampaikannya, tetapi dunia yang berbeda membuat segalanya tidak mudah. Untungnya, Poconggg tidak sendirian, ada Kunti yang senantiasa membantunya. Ada Kunti yang menjadi tong sampah Poconggg ketika ia galau melihat Adit, senior Sheila di kampus yang mulai melakukan pendekatan ke Sheila.

Kepribadian Poconggg yang penakut membuat semuanya menjadi rumit. Anjaw yang usil. Kunti yang baik tapi galak. Dunia Poconggg dan Sheila yang sudah berbeda. Semuanya membuat Poconggg galau.

Film ini diangkat dari novel terlaris dan paling fenomenal tahun ini: ‘Poconggg Juga Pocong’. Sebuah film romantis komedi untuk anak-anak muda yang sedang galau...

nah ini trailernya...


hope you like it :D

Breaking Dawn Part 1

Hey guys, 18 November ini Summit Entertainment akan merilis film yang berjudul " Breaking Dawn Part 1 "
so lets wee see the trailer

hope you enjoy it :D

All About Ari (Gruvi)

Ari Pramundito atau “Ari”, kelahiran Jakarta, 11 Oktober 1981, memulai ketertarikannya pada dunia musik sejak berumur 8 tahun. Perhatiannya jatuh pada alat musik gitar yang hingga saat ini dikuasainya. Sarjana lulusan Fakultas Hukum Trisakti ini pernah mendapatkan gelar The Best Guitarist dalam Festival Musik Pelajar se-Jawa Bali. Dulunya Ari mempelajari musik Rock dan sempat membentuk band rock bersama teman-temannya. Di sekolah musi Farabi (sekolah musik di bawah pimpinan Dwiki Dharmawan), Ari mengasah kemampuannya dalam bermusik. Disinilah ia memilih pendidikan musiknya dan berguru kepada salah seorang gitaris jazz legendaris Indonesia yang bernama Oele Pattiselano. Disini pulalah ia mengenal musik Jazz. Tak hanya itu, Ari juga sempat belajar musik pada musisi seperti Kadek Rihardika, Lian Panggabean, dan mengikuti workshop bersama Tjut Nyak Deviana (dosen musik Jazz dari Jerman). Semangat anak ketiga dari tiga bersaudara ini untuk meningkatkan kualitas musiknya, dilaluinya dengan bermain dari cafe ke cafe. Bersama bandnya, Ari mengikuti festival Jazz Goes To Campus pada tahun 2001. Pada festival ini Ari terlibat dalam dua band, yang keduanya meraih gelar Juara I dengan aransemen terbaik sekaligus Ari mendapatkan gelar The Best Guitarist. Tahun 2003 bermain reguler di “The Bar” Hotel Regent (sekarang 4 seasons). Disini Ari bersama Tompi (sebelum Tompi bersolo karir), Bibus, Yudhis, Ilyas, dan Dery membentuk Groovology. Hingga kini Groovology masih kerap hadir bersama Tompi di setiap konsernya. Ari banyak terlibat di beberapa album musisi lain dengan mengisi gitar seperti di album Tompi, Rika Roeslan, Glen Fredly, Rafika Duri, Irianti Erning Praja, Gadis & Bas, dll. Selain itu, Ari juga sering berkolaborasi dengan banyak musisi junior & seniornya dimana salah satunya adalah konser Jeff Kashiwa, seorang pemain saxophone dari Amerika. Kemampuannya bermain gitar banyak dipengaruhi oleh musisi-musisi idolanya: Wes Montgomery, George Benson, Mike Stern, Pat Matheny, Jimi Hendrix, dan Miles Davis. Tidak hanya mahir bermain gitar, ternyata Ari memiliki kemampuan vokal yang baik. Juni 2007 lalu, Ari mempercayakan diri untuk mengkaryakan karya seni musiknya sendiri dalam bentuk album rekaman. Dengan title album FUNK ME, Ari tampil dengan genre musik Pop Jazzy dengan menonjolkan lirik-lirik yang simple dan menyentuh.

nah kawan ini adalah salah satu video clip dari Ari (Gruvi)

Dicintai Tuk Disakiti

ni lagu buat yah abis putus sama pacarnya, yang lagi galau ayo denger ni lagu, selamat mendengarkan :)



Sabtu, 05 November 2011

History Of David Foster

David Walter Foster, OC, OBC (born November 1, 1949), is a Canadian musician, record producer, composer, singer, songwriter, and arranger, noted for discovering singers such as Michael Bublé, Josh Groban, and Charice Pempengco; and for producing some of the most successful artists in the world, such as Céline Dion, Toni Braxton, Madonna, Air Supply and Michael Jackson. Foster has won 16 Grammy Awards from 47 nominations.


History of Justin Bieber

Justin Bieber menjadi sensasi di Amerika Serikat pada tahun 2009 setelah ditemukan oleh Scooter Braun melalui video kompetisi menyanyi lokal "Stratford Star" di Ontario yang dipublikasikan di YouTube oleh ibu Justin di tahun 2007, dimana Justin meraih peringkat kedua. Scooter Braun, seorang agen pencari bakat dan mantan Marketing Eksekutif perusahaan So So Def melihat video ini dan memutuskan untuk mempertemukan Justin Bieber dengan Usher untuk audisi. Singel pertamanya yang berjudul "One Time", diterbitkan secara serentak diseluruh dunia di tahun 2009, dan meduduki peringkat 30 besar di lebih dari 10 negara. Albumnya pertamanya "My World" (Duniaku) kemudian mengikuti pada 17 November 2009 dan menerima penghargaan platinum di Amerika Serikat, dan menjadi penyanyi pertama yang memiliki tujuh lagu dari album pertama yang keseluruhannya berhasil mendapat peringkat di Billboard Hot 100, sebuah daftar lagu-lagu terkemuka yang sedang digemari.
Kepopuleran Justin Bieber diseluruh dunia dalam waktu singkat dikenal sebagai "Bieber Fever" (Demam Bieber) dimana julukan ini diberikan pada penggemarnya dengan obsesi yang berlebihan terhadap Justin Bieber. Banyak artis yang mengalami "Demam Bieber" diantaranya Jennifer Love Hewitt, dan Beyonce diperingatkan agar hati-hati oleh suaminya Jay-Z, saat berfoto bersama Justin Bieber pada penghargaan Grammy ke 52.
Walaupun dikenal akan suaranya, namun penyanyi ini juga mampu memainkan keyboards, piano, gitar, drum dan bahkan trompet, yang keseluruhannya dipelajarinya sendiri (otodidak).





itu semua adalah lagu lagu dari Justin Bieber, so check it out

Sungha Jung

Seongha Jeong (정성하) (colloquially: Sungha Jung) (born 2 September 1996) is a South Korean professional acoustic finger-style guitarist who has risen to fame on YouTube and other sites, mainly through the South Korean audience. As of 2011, his channel had over 14 million views, with his videos getting a total of over 306 million views, and also over 500,000 subscribers.
Seongha typically takes three days to learn and practice a new piece, and video-record it for upload onto YouTube. His genre selection is rather broad, as he learns and plays many pieces that are playable on guitar, therefore consequently spread across numerous genres.
Seongha has won 13 awards on YouTube, including 6 "#1" awards. Also on YouTube, Seongha has 38 videos with over one million views. Seongha's video with the most views is the shows him playing the theme from "Pirates Of The Caribbean", at 23,460,676 views as of October 12th 2011.
Seongha has composed 18 pieces as of February 2011, two of which are featured in his debut album, "Perfect Blue". He released his second album, "Irony", on 21 September 2011.
In 2011, he performed in the US with Trace Bundy, as well as touring in Scandinavia and Japan



 Check It Out :D

Kamis, 03 November 2011

Lirik Lagu Owl City

Dear Vienna
oleh: Owl City



I regarded the world as such a sad sight
Until I viewed it in black and white
Then I reviewed every frame and basic shape
And sealed the exits with caution tape
Don’t refocus your eyes in the darkness
And don’t remember this place unless
I describe all the things that you cannot see
And we’ll unravel the mystery

Farewell, all my friends in textbooks, I’m going home
Cuz my blood cells cannot depend on the weather in photographs
There’s a light show out my window somewhere way up there
Dear Vienna, are you singing?
Dear Vienna, are you swinging?
Dear Vienna, we were happy like the shades of May when we got carried away

I was so far out of place
Watching those stars in outer space
Cuz I am so far from where you are 
 

Early Birdie
oleh: Owl City



Good evening, shuttle bus! Tell me where you’re going to take us
Someplace that I have never been
It’s chic transportation to new destination where I leave my reflection on the glass
I’d ask but we don’t know how far these interstates go
Or how deep the city roots go down
In chilly sub-depth railways, the weathered concrete stairways provide me with a means of getting home… if I ever leave

On crystal sand, we sleep hand-in-hand
While soothing words hover like hummingbirds

So many sights to see so wake up like an early birdie
And we’ll get a head start on the day
Stained-glass skyways and crowded 6 lane highways
If I look back when I begin to leave, will they remember me?

Circuit flights bend the lights when I am spent
And tour guides make happy brides feel heaven-sent 
 
Fireflies
oleh: Owl City



You would not believe your eyes
If ten million fireflies
Lit up the world as I fell asleep
Cuz they fill the open air
And leave teardrops everywhere
You think me rude, but I would just stand and stare

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Cuz everything is never as it seems

Cuz I get a thousand hugs
From ten thousand lightning bugs
As they try to teach me how to dance
A foxtrot above my head
A sockhop beneath my bed
The disco ball is just hanging by a thread (thread, thread)

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Cuz everything is never as it seems (when I fall asleep)

Leave my door open just a crack
(Please take me away from here)
Cuz I feel like such an insomniac
(Please take me away from here)
Why do I tire of counting sheep?
(Please take me away from here)
When I'm far to tired to fall asleep

To ten million fireflies
I'm weird cuz I hate goodbyes
I got misty eyes as they said farewell (said farewell)
But I know where several are
If my dreams get real bizarre
Cuz I saved a few and I keep 'em in a jar

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Cuz everything is never as it seems (when I fall asleep)

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Cuz everything is never as it seems (when I fall asleep)

I'd like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It's hard to say that I'd rather stay awake when I'm asleep
Because my dreams are bursting at the seams

Hot Air Balloon
oleh: Owl City



We wrote a prelude
To our own fairy tale
And bought a parachute
At a church rummage sale

And with a mean sewing machine
And miles of thread
We sewed the day above L.A.
In navy and red

We wound a race track
Through your mom's kitchen chairs
And fought the shadows back
Down your dark basement stairs

I lit a match, then let it catch
To light up the room
And then you yelled as we beheld
An old maroon hot air balloon

I'll be out of my mind
And you'll be out of ideas
Pretty soon
So let's spend
The afternoon in a cold hot air balloon
Leave your jacket behind
Lean up and touch the treetops over town
I can't wait
To kiss the ground
Wherever we touch back down

La la la la la laaa
La la la la la laaa

We drank the Great Lakes
Like cold lemonade
And both got stomach aches
Sprawled out in the shade

So bored to death you held your breath
And I tried not to yawn
You made my frown turn upside down
And now my worries are gone

I'll be out of my mind
And you'll be out of ideas
Pretty soon
So let's spend
The afternoon in a cold hot air balloon
Leave your jacket behind
Lean up and touch the treetops over town
I can't wait
To kiss the ground
Wherever we touch back down

I'll be out of my mind
And you'll be out of ideas
Pretty soon
So let's spend
The afternoon in a cold hot air balloon
Leave your jacket behind
Lean up and touch the treetops over town
I can't wait
To kiss the ground
Wherever we touch back down
 
Rainbow Veins
oleh: Owl City



High rise, veins of the avenue
Bright eyes and subtle variations of blue
Everywhere is balanced there like a rainbow above you
Street lights glisten on the boulevard
And cold nights make staying alert so hard
For heaven’s sake, keep me awake so I won’t be caught off guard
Clearly I am a passerby but I’ll find a place to stay
Dear pacific day, won’t you take me away?
Small town hearts of the New Year
Brought down by gravity, crystal clear
City fog and brave dialogue converge on the frontier
Make haste, I feel your heartbeat
With new taste for speed, out on the street
Find a road to a humble abode where both of our routes meet
The silver sound is all around and the colors fall like snow
The feeling of letting go, I guess we’ll never know

Cheer up and dry your damp eyes and tell me when it rains
And I’ll blend up that rainbow above you and shoot it through your veins
Cuz your heart has a lack of color and we should’ve known
That we’d grow up sooner or later cuz we wasted all our free time alone

Your nerves gather with the altitude
Exhale the stress so you don’t come unglued
Somewhere there is a happy affair, a ghost of a good mood
Wide eyed, panic on the getaway
The high tide could take me so far away
VCR’s and motorcars unite on the Seventh Day
A popular gauge will measure the rage of the new Post-Modern Age
Cuz somewhere along the line all the decades align

We were the crashing whitecaps
On the ocean
And what lovely seaside holiday, away
A palm tree in Christmas lights
My emotion
Struck a sparkling tone like a xylophone
As we spent the day alone 
 
The Saltwater Room
oleh: Owl City



I opened my eyes last night and saw you in the low light
Walking down by the bay, on the shore, staring up at the planes that aren’t there anymore
I was feeling the night grow old and you were looking so cold
Like an introvert, I drew my over shirt
Around my arms and began to shiver violently before
You happened to look and see the tunnels all around me
Running into the dark underground
All the subways around create a great sound
To my motion fatigue: farewell
With your ear to a seashell
You can hear the waves in underwater caves
As if you actually were inside a saltwater room

Time together is just never quite enough
When you and I are alone, I’ve never felt so at home
What will it take to make or break this hint of love?
We need time, only time
When we’re apart whatever are you thinking of?
If this is what I call home, why does it feel so alone?
So tell me darling, do you wish we’d fall in love?
All the time, all the time

Can you believe that the crew has gone and wouldn’t let me sign on?
All my islands have sunk in the deep, so I can hardly relax or even oversleep
I feel as if I were home some nights when we count all the ship lights
I guess I’ll never know why sparrows love the snow
We’ll turn off all of the lights and set this ballroom aglow 
 
Vanilla Twilight
oleh: Owl City



The stars lean down to kiss you
And I lie awake and miss you
Pour me a heavy dose of atmosphere

'Cause I'll doze off safe and soundly
But I'll miss your arms around me
I'd send a postcard to you, dear
'Cause I wish you were here

I'll watch the night turn light-blue
But it's not the same without you
Because it takes two to whisper quietly

The silence isn't so bad
'Til I look at my hands and feel sad
'Cause the spaces between my fingers
Are right where yours fit perfectly

I'll find repose in new ways
Though I haven't slept in two days
'Cause cold nostalgia
Chills me to the bone

But drenched in vanilla twilight
I'll sit on the front porch all night
Waist-deep in thought because
When I think of you I don't feel so alone

I don't feel so alone, I don't feel so alone

As many times as I blink
I'll think of you tonight
I'll think of you tonight

When violet eyes get brighter
And heavy wings grow lighter
I'll taste the sky and feel alive again

And I'll forget the world that I knew
But I swear I won't forget you
Oh, if my voice could reach
Back through the past
I'd whisper in your ear
Oh darling, I wish you were here
 
 
 
 

AXIS Java Jazz Festival 2011 : Words Can’t Express Its Impression Enough!


WOW!!! Cuma itu yang bisa saya ungkapkan! Saya betul-betul speechless. Menghadiri AXIS Java Jazz Festival tahun 2011 ini merupakan pengalaman tak terlupakan untukku. Banyak sekali kesan. Amat kaya makna. Saya datang ke Jakarta International Expo, Kemayoran, tanggal 6 Maret 2011 lalu dengan pengetahuan yang sangat miskin, tapi berlalu dari sana dengan ribuan wawasan dan pengalaman baru. Begini ceritanya.
Saya sudah menceritakan singkat pada blog saya sebelum ini apa-apa saja yang saya alami mulai dari berangkat hingga pertengahan acara. Sekarang, dalam tulisan ini, akan saya paparkan detailnya. Saya mohon kesabaran kalian semua membacanya. Mungkin akan agak panjang, tapi kalau kalian mau ikuti, kalian akan mengerti excitement saya, malah barangkali (mudah-mudahan!) akan ikut excited!
Akan saya kisahkan cepat saja apa yang sudah saya ceritakan di blog sebelumnya tentang proses keberangkatan saya. Cuma berbekal tiket gratis hasil mengikuti AXIS RTJJF Blog Competition, uang sedikit sekadar untuk ongkos PP Bandung-Jakarta-Bandung, dan tas yang dipadati bekal makanan bungkus (dalam rangka penghematan supaya tak usah beli makan di jalan, hehe!) dan juga pakaian ganti serta beberapa barang lainnya, saya menempuh perjalanan jauh ke JIE. Terus terang, seperti saya tulis di blog yang lalu, porsi terbesar tujuan saya sebenarnya adalah informasi yang memadai untuk bisa ditulis dalam final kompetisi blog ini, agar dapat memenangkan Galaxy Tab, atau paling tidak, Blackberry Gemini. Sedangkan untuk menikmati musik jazz, apalagi untuk memperoleh pengalaman dan wawasan baru, sangat-sangat kecil saya harapkan.
Setelah sempat kecele dengan jadwal kereta, putar-putar beberapa jam di tengah kota Jakarta akibat tidak tahu jurusan angkutan, akhirnya jam 4 sore tepat saya bisa tiba juga di gate utama JIE. Jadi, dihitung-hitung, total lama perjalanan saya itu delapan setengah jam, sebab saya berangkat dari rumah di Bandung jam setengah delapan pagi. Fuuiihhh!!
Sesuai instruksi dalam selebaran pada paket tiket gratis yang dikirimkan AXIS, sebelum masuk gate, saya lebih dulu mendatangi Loket Penukaran AXIS. Di situ saya diberikan kit yang berisi brosur-brosur dan sebuah paket schedule konser yang dilengkapi denah ringkas JIE. Lumayan, ada gratisan lagi! Soalnya, kalau bukan karena dapat hadiah dari AXIS, schedule itu harus dibeli.
Saya sungguh terkesan dengan ketatnya pengamanan yang dilakukan, mulai dari gate depan hingga dalam arena dan hall-hall. Sampai-sampai, petugas keamanan di gate depan yang memeriksa tas saya meminta saya menyerahkan botol-botol air minum bekal saya! (Eh, ternyata bukan karena alasan keamanan, melainkan karena alasan sponsor, sebab, katanya, di dalam arena dijual produk-produk minuman sponsor, hehehe!) Yang lebih membuat saya respek ialah sikap para petugas yang ramah, santun, dan responsif sekali dalam memberi informasi yang saya tanyakan. Maklum, wong ndeso (atau, kalau istilah di Bandung: urang lembur) masuk arena kota megapolitan nan keren, jadi saja agak norak, mesti tanya sana-sini biar nggak salah antara pintu toilet dengan pintu hall pertunjukan, hihihi! (Bukan “agak” lagi, tapi memang sudah “betul-betul” norak, hahahaha!!) Sewaktu masuk ke arena utama, si cantik Fraya sedang tampil di stage depan. Cukuplah, buat menceriakan suasana hati saya yang sedang kelelahan sehabis putar-putar nyasar tak karuan di jalan!
axis-lounge-best
AXIS Lounge
Seperti yang saya ceritakan di blog sebelum ini, tempat pertama yang saya tuju ya jelas AXIS Lounge. Bukan apa-apa. Saya ke situ buat menukarkan Free Coupon Snack & Drink yang ada di lembar schedule, berhubung saya sudah letih sekali, mana haus banget pula, tidak punya lagi air minum, tambah lagi agak lapar juga jadinya. Jadi, sepiring kecil peanut butter dengan segelas ice lemon tea cukup memberi sedikit spirit kembali untuk menjelajahi festival musik akbar itu. Sebentar saja cemilan itu habis saya lahap, padahal saya sudah sangat jaga image, jangan terlalu kentara laparnya, karena di dekat-dekat tempat saya duduk itu banyak kru AXIS, mana di antaranya ada beberapa AXIS girls yang cantik-cantik pula! Gengsi dong kalau sampai kelihatan rakus! Namun tetap saja, cuma 4 menit lebih sedikit peanut butter dan lemon tea habis! Maklum, lapar dan letih membuat saya memperlakukannya bukan sebagai cemilan lagi, tapi sudah jadi makan siang!
Snack peanut butter & soft drink ice lemon tea: all free! Mmm, yummy!!
Snack peanut butter & soft drink ice lemon tea: all free! Mmm, yummy!!
Meski begitu, saya sempat juga menikmati lantunan lagu dan musik yang dimainkan di atas panggung AXIS Lounge oleh para artis yang belakangan saya ketahui adalah para pemenang AXIS Road to Java Jazz Festival dan Youtube Contest. Penampilan mereka ternyata sama sekali tidak mengecewakan, malah terkesan profesional sekali, sudah mirip artis-artis papan atas. Sungguh, bakat-bakat di tanah air ini begitu potensial dan begitu banyak! Sayang, uang dan kesempatan hanya dimiliki segelintir saja. Di situ saya jadi terbawa dalam satu perenungan singkat, betapa banyaknya tiap hari, tiap bulan, tiap tahun, tiap windu, tiap dasawarsa, dan tiap generasi talenta-talenta yang terbuang sia-sia, entah di jalanan, di ujung jarum suntik narkoba, atau di penjara. Atau barangkali malah terjebak di rumah saja, atau di perkantoran, barangkali?…
Cukup dengan refleksi singkat itu, saya kembali turun ke bawah. Detail kisahnya bisa kalian baca di blog saya persis sebelum ini. Pendeknya, saya menemui wanita yang punya gawean buat ajang kompetisi blog AXIS Java Jazz, dan diberi sedikit “tugas” menulis blog singkat di salah satu laptop yang tersedia di Internet Access Centre di lantai bawah AXIS Lounge itu. Sesudah beberapa menit menulis, saya teruskan rencana saya berkeliling JIE, memantau sebanyak mungkin pertunjukan yang digelar.
Yang pertama saya masuki itu Hall D1 yang persis ada di sebelah AXIS Stage di Hall D2. Di situ ternyata sedang bermain Kahitna. Waktu saya masuk, band yang diawaki antara lain oleh Jovie Widianto, Hedi Yunus, dan Carlo Saba itu baru menyelesaikan tembang mereka, “Andai Dia Tahu”, yang dibawakan bersama penyanyi muda yang sedang menanjak, Alika. Habis itu, mereka langsung menyambung dengan hits mereka: “Katakan Saja”. Penonton yang menyaksikan mereka membludak! Saya sendiri cuma mendapat tempat di pojok kanan belakang, dekat pintu masuk, saking penuhnya hall. Tapi memang saya sudah punya rencana tidak akan terlalu lama di satu tempat juga sih. Jadi saya ambil kesempatan untuk mengambil beberapa foto saja, kemudian keluar untuk cari pertunjukan lain.
Penampilan Kahitna dari kejauhan. Sangat jauh, sampai-sampai susah ditangkap kamera HP primitif saya, hehe!!
Penampilan Kahitna dari kejauhan. Sangat jauh, sampai-sampai susah ditangkap kamera HP primitif saya, hehe!!
Oh, ya, sebelum saya lanjut, perlu saya tambahkan singkat, Kahitna saya tonton sebelum saya menemui wanita kru AXIS dan menulis blog di Internet Access. Itu saja. (Penting nggak sih??)
Berikutnya, saya menyeberang ke sayap satunya lagi, yang berlawanan dengan sayap tempat Hall AXIS berada. Waktu itu, hari sudah mulai gelap. Begitu saya mau masuk, saya agak tertegun, sebab pintu masuk ditutup dan dihalangi penjaga. Dalam beberapa detik saya tahu, ternyata itu karena ruangan pertunjukan sudah penuh sesak, jadi kalau ada yang mau masuk, harus tunggu ada yang keluar dulu. Untung, banyak orang yang sepikiran dengan saya: tidak mau lama-lama di satu pertunjukan. Jadi saya tidak perlu terlalu lama menunggu untuk dapat masuk. Saya penasaran juga, siapa yang main, sampai-sampai penonton pada membludak, lebih daripada yang di hall tempat Kahitna tadi. Pas di dalam, ternyata eh ternyata, Andra & The Backbone (ATB) sedang manggung!
Andra & The Backbone! Juga kurang jelas, maaf ya, hiii!!
Andra & The Backbone! Juga kurang jelas, maaf ya, hiii!!
Sama dengan Kahitna, begitu saya masuk, ATB baru selesai menyanyikan tembang andalan mereka, “Hitamku”, dan setelah itu membawakan hits mereka: “Sempurna”. Dan “sempurna”lah jerit histeris dan aplaus massa penonton (kecuali saya, hoho!)! Biarpun cukup atraktif dan komunikatif, tapi di dalam saya tetap berlaku adaptif, sedikit primitif, hanya mengambil beberapa gambar via kamera HP seadanya (karena cuma itu yang saya punya, tapi lumayan lah!) secara intuitif, tanpa menjadi permisif dengan musik mereka yang sebenarnya tidak jazzy, namun tetap dengan sikap hormat yang apresiatif terhadap seni mereka yang mampu menyentuh hati yang sensitif. (Mudah-mudahan kalimat saya barusan tidak berkesan sok kontemplatif dan tentatif!)
Ketika keluar dari hall tempat ATB manggung ―yang juga cuma sebentar saya kunjungi―, saya tiba-tiba merasa agak gamang. Jadi saya jalan-jalan dulu di court yang ada di tengah-tengah arena. Kebetulan yang terdekat adalah food court. Saya sih sebetulnya sama sekali tidak berniat beli makanan, berhubung saya bawa bekal, dan uang saya juga takkan cukup membeli bahkan secangkir kopi Starbucks sekalipun. Yang saya cari hanyalah sekadar hawa segar dan selingan. Yang saya dapat ternyata satu tambahan rasa gamang! Food court begitu penuh orang juga! Saya jadi berpikir, apakah saya ini sudah agorafobi?! Sambil mau tak mau merenung, saya menelusuri selasar food court, sembari sekali mengambil gambar keramaiannya.
Food Court yang sangat padat & ramai, meski cukup mahal-mahal...buat saya, heee!!
Food Court yang sangat padat & ramai, meski cukup mahal-mahal…bagi saya, heee!!
Suasana dalam court tempat stand-stand sponsor; sama juga: rame! Wuiihh!!
Suasana dalam court tempat stand-stand sponsor; sama juga: rame! Wuiihh!!
Sesampai di ujung, saat mau masuk court kedua yang berisi stand-stand para sponsor, saya baru sadar, kegamangan saya bukanlah karena keramaian, melainkan karena keganjilan yang terjadi. Ternyata bahkan dalam ajang seni tingkat tinggi berkaliber internasional macam AXIS Java Jazz Festival pun imperialisme dan hukum pasar meraja! Yah, untuk tujuan komersial, sah-sah saja sih panitia yang dipunggawai Pak Peter Gontha merekrut banyak artis non-jazz, serta menggaet banyak vendor ―termasuk makanan dan gadget― untuk meramaikan event akbar tersebut. Bagaimanapun, profit memang yang dituju, dan itu tidak salah sama sekali. Hanya saja, saya jadi bertanya-tanya, bilamana idealisme murni ditegakkan, bilamana misalnya ajang pesta jazz seperti AXIS Java Jazz itu benar-benar hanya dan belaka diisi pertunjukan jazz, tanpa diembel-embeli segala macam pemanis yang porsinya malah amat terkesan lebih besar daripada jazz-nya sendiri, akankah tetap menarik? Masih atraktifkah ajang idealis semacam itu? Mustahilkah terjadi: ada ajang pertunjukan yang murni dan idealis tapi tetap memikat orang? Kalau tidak mustahil, siapakah yang akan memelopori idenya, dan kapan?
Aaahh, sudahlah! Daripada mikir yang nggak-nggak, lebih baik saya nikmati saja apa yang ada.
Setelah sejenak melihat-lihat beberapa stand di court tengah yang kedua itu, seraya memfoto beberapa, saya kembali ke sayap AXIS, namun kali itu agak ke depan, karena AXIS Hall itu ada di paling ujung. Saya masuki salah satu hall yang sedang ada pertunjukan. Ternyata yang sedang bermain di situ adalah Jeff Lorber dan rekan-rekannya. Nah, akhirnya, pikir saya, ketemu juga atmosfer jazz yang asli!
Jujur, saya pribadi tidak terlalu suka jazz yang terlalu pure jazz. Buat saya, musik seperti itu kurang bisa dinikmati, sebab saya sendiri tidak mengertinya. Saya sih, secara global, suka musik, apa pun jenisnya. Cuma tidak semua saya apresiasi secara sama. Ada yang saya bisa nikmati, ada yang seperti pure jazz: kurang bisa saya dalami dan nikmati namun tetap saya hargai karena kualitas musikalitasnya yang memang tidak terbantahkan. Jadi, saya masuk ke hall itu lebih sekadar memuaskan rasa ingin tahu, sekalian cari bahan tulisan untuk blog ini.
Jeff Lorber & partners. Penoreh pertama kesan mendalam akan jazz di hati saya!
Jeff Lorber & partners. Penoreh pertama kesan mendalam akan jazz di hati saya!
Yang tidak saya nyana sama sekali adalah apa yang terjadi pada diri saya di dalam hall itu. I got it! I finally feel it! I can sense it! I can taste it, touch it, smell it, not just see and hear and listen to it! Seolah roh jazz merasuki saya! Oh, oh, ternyata!! Ternyata, untuk dapat menikmati jazz, rupa-rupanya orang harus mengalami ini dulu: hadir langsung, live, di tempat pertunjukannya! Ya, itulah yang saya alami! Itu juga yang berani saya simpulkan sudah, akan, dan semestinya dialami orang-orang lain untuk “mendapatkan” jazz bagi jiwa!
Menonton di televisi, apalagi mendengar audio saja lewat radio, tape, MP3 player, iPod, atau media apa pun, sungguh berbeda dengan menyaksikan langsung. Penampilan live jazz niscaya menyajikan musik itu hidup-hidup ke depan kita. Permainan semua para jazzer yang ekspresif betul-betul menular. Eksitasi penabuh drum dengan stiknya yang mengentak lembut namun ceria, ekspresi kepuasan gitaris pada tiap petikan jarinya, gaya sepenuh hati dan sarat bahasa tubuh Lorber sendiri dalam memainkan keyboard (dan kemudian akordeonnya) dengan kepenuhan yang sama; semua itu memenuhi atmosfer panggung sampai ke pojok-pojok ruangan dengan aura jazz! Ya, saya “mendapatkan” jazz pertama kali dalam hidup saya pada momen itu, kala menyaksikan Jeff Lorber dan para rekannya berkiprah! Hanya satu yang saya sayangkan: panggung tempat saya pertama kali puas bercumbu dengan jazz ini justru sangat sepi pengunjung. Paling-paling hanya sekitar empat puluh sampai lima puluhan orang yang hadir. Di satu sisi, itu membuat saya dapat berada dekat sekali dengan panggung, sehingga saya merasa amat berterimakasih, tapi di sisi lain, saya trenyuh melihat begitu sedikitnya peminat bagi permainan murni nan berkualitas ini.
Walau demikian, saya pun memutuskan tidak mau berlama-lama di hall tersebut. Jadi saya keluar lagi. Tapi saya keluar sudah dalam keadaan yang berbeda sekali. Karena saat keluar, saya merasa sudah siap menikmati jazz!
Saya pun beranjak ke hall di sebelahnya. Dan memang sudah ditentukan bahwa saya harus menjiwai jazz. Hall tersebut sudah mulai setengah penuh, dan penonton dengan cepat bertambah terus. Dalam hitungan detik, ketika melihat schedule di tangan, saya baru tahu, ternyata karena saat itu mau mulai pertunjukan sang grup jazz fenomenal: Fourplay!
Fourplay in action! Forgive me, mates, my capture was so contrast to their outstanding performing!
Fourplay in action! Forgive me, mates, my capture was so contrast to their outstanding performing!
MC mengumumkan anjuran supaya penonton duduk saja di lantai. Orang-orang pun, terutama yang kedapatan atau sengaja mengambil tempat di bagian belakang, mulai ikut-ikutan ramai berteriak-teriak: “Duduk! Duduk!” pada penonton di depan. Saya pun bergegas minggir, takut nanti kejebak dan susah keluar kalau pertunjukan sudah dimulai. Dengan sedikit mendesak-desak penonton lain, saya menuju ke bagian belakang, agar saya bisa keluar dengan gampang, karena saya tetap mau sebentar saja. Wah, ternyata, antusias penonton Fourplay itu bukan main! Ada yang sengaja pinjam kursi. Ada yang bawa anak kecilnya, tanda memang sudah niat banget datang khusus hanya mau nonton Fourplay. Cuma kira-kira semenit sesudah saya mencapai posisi yang saya anggap paling gampang buat keluar lagi, Fourplay pun mulai memainkan alat musik mereka. Hiruk-pikuk pun menggelegar! Semua berdiri memberi tepuk tangan meriah diiringi suit-suit dan teriakan histeris. Sayang, tak lama kemudian, teriakan “Duduk! Duduk!” dari banyak oknum mengikuti! Dasar kampungan! maki saya dalam hati. Padahal saya sendiri juga kampungan, hehehehe!
Benar-benar! Kalau di hall sebelumnya saya merasakan, mencium, meraba, dan mengecap jazz dari dekat panggung, waktu di Fourplay itu bahkan saya yang sudah ada di belakang dan mojok dekat tiang pun merasakan gelombang hebat jazz itu merambat di udara! Aroma, tekstur, dan citarasa jazz itu jauh lebih kuat daripada di hall Jeff Lorber! Wow!! Tidak heran ini grup jadi begitu fenomenal! batin saya. Tiap ketukan tuts piano, tiap petikan gitar, tiap tabuhan drum, yang bergantian mendominasi, sanggup memancarkan getaran kuat jiwa jazz sampai memantul kembali dari dinding hall, membuat orang-orang tambah histeris! Termasuk saya! Cuma saya berusaha redam dan jaim saja, sambil berusaha ambil-ambil foto tanpa konsentrasi akibat landaan emosional jazzy yang mengabuti ruangan.
Saya keluar dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah…!!
Langkah gontai saya yang berat hati meninggalkan Fourplay mengantarkan saya ke hall di sayap seberang. Lho, di sini juga sudah mulai penuh, dan orang-orang juga pada bergegas masuk, seperti takut kehilangan kesempatan untuk dapat tempat sedepan mungkin?! Saya intip schedule saya. Ooo, rupanya Sandhy Sandoro yang lagi naik daun itu sebentar lagi bakal manggung! Ya sudah, saya keluar dulu. Pikir saya, nanti saja saya masuk lagi buat menyaksikan penyanyi yang bisa juga dikategorikan jazzer itu.
Saya bergerak ke hall di sebelahnya. Ternyata ruangan cukup ramai, meski tidak penuh. Dan tidak seperti hall-hall lain, hall yang satu itu berkursi, sehingga para penonton yang mau nonton bisa memilih mau duduk di mana, sebab masih banyak juga yang kosong. Saya intip nama di schedule siapa yang sedang main itu. Ternyata New York Voices. Pantas!
Ada keunikan tersendiri pada masing-masing performer, tapi mereka semua juga punya satu kesamaan: mengeluarkan dan menularkan rasa, aroma, dan sentuhan jazz dari performa dan jiwa mereka sendiri secara kuat hingga orang-orang yang menyaksikan dan seluruh ruangan disarati seluruh roh jazz itu. Bedanya, kalau Jeff Lorber dkk. itu ibarat riak sungai kalau kita berarung-jeram ria, yang sanggup menghanyutkan orang-orang ke mana pun mereka membawa, kalau Fourplay itu ibarat gelombang tsunami yang kuat menghantam dan menenggelamkan semua yang ada di sekitarnya, sedangkan New York Voices itu ibarat hujan deras bernuansa badai yang takkan menghanyutkan atau pun menenggelamkan dan menghantam namun cukup kuat memukul-mukul kita dan bahkan agak “berbahaya” juga!
Seperti yang sudah-sudah, saya juga tidak lama di New York Voices. Sekali lagi, bukan karena tidak suka. Tidak! Sampai momen tersebut, saya sudah benar-benar mencintai jazz! Saya hanya sudah agak lelah, dan sedikit kelabakan juga akibat berbagai hantaman roh-roh jazz raksasa itu. Saya perlu konsolidasi diri sejenak. Perlu udara dan bernafas sedikit. Lagipula, saya pun ingin mendapat lebih banyak, yah, paling tidak, satu lagi saja, suasana jazz yang berbeda lagi.
Keinginan saya segera benar terkabul! Begitu memasuki hall di sebelah, saya mendapati satu warna jazz yang bagi saya baru: jazz latin! Perkawinan jazz dengan musik latin sendiri untuk saya sudah cukup familiar, berkat peran besar Carlos Santana. Namun jazz-latin yang ini agak beda. Di situ bermain Daniel Amat dan kawan-kawan.
Penampilan "buram" Daniel Amat & co. Bukan mereka, tapi foto saya yang buram, huuu!!
Penampilan "buram" Daniel Amat & co. Bukan mereka, tapi foto saya yang buram, huuu!!
Sekalipun sensasi yang mereka tebar sama dengan jiwa Jeff Lorber, Fourplay, dan New York Voices, tapi kekhasan mereka serupa ombak tinggi di tepi pantai untuk surfing. Orang dapat dengan aman dan nyaman berselancar pada musik mereka, kalau sudah ahli. Kalau tidak, siap-siaplah basah kuyup diterpa gelombang nada mereka nan dinamis! Dan itulah saya, sense of music saya megap-megap dipaksa menelan asinnya hentakan not mereka!
Saya menyingkir ke pojokan dengan kepayahan. Sudah, cukup dulu! Dan untung, lima menit kemudian grupnya Daniel Amat memang selesai. Saya terduduk bersandar pada dinding, tak ayal sempat juga terlontar keheranan dari kepala saya: mengapa musik sedemikian fenomenal begitu sepi pengunjung? Jauh lebih sepi daripada di Jeff Lorber. Yah, barangkali, orang tidak banyak yang mau atau berani mencoba dulu.
Sesudah sempat-sempatnya makan bekal saya di pojokan gelap hall bekas Daniel Amat dan genknya manggung itu, sementara RAN sedang menyiapkan peralatan dan take vocal, dan para penonton ―terutama para remaja― mulai berdatangan awal-awal, saya bangkit dan meninggalkan gedung. Sebenarnya, sudah capek sekali saya karena emosi yang diombang-ambing sedemikian. Tapi saya masih mau sebentar menengok Sandhy Sandoro. Hall Sandhy Sandoro penuh seperti yang memang sudah terlihat tanda-tandanya tadi sebelum ia manggung. Pengalaman saya menonton Sandhy Sandoro mirip benar dengan waktu saya melihat Kahitna dan ATB: ketika saya masuk dia sedang melantunkan hitsnya yang paling anyar, “The End of the Rainbow”, dan kemudian (sampai saya keluar lagi setelah beberapa foto saya ambil) menyanyikan hits pertamanya: “Malam Biru”. Penampilan fisiknya sendiri saya tidak bisa melihat, saking jauhnya jarak dengan panggung, layar LCD pun kurang bisa saya lihat karena terhalang kepala orang-orang. Tapi vokal khasnya lumayan menjadi siraman air yang membasuh muka perasaan saya. Itu karena warna jazz yang kental dalam suaranya. Dan memang, yang saya butuhkan untuk mendinginkan saya yang berpeluh akibat diterjang terus oleh jazz adalah guyuran sejuk tapi pelan dari jazz juga, bukan musik lain.
Sandhy Sandoro... ceritanya! Maaf sekali lagi, kawan! Sudah buram, tidak kelihatan pula Sandhy Sandoro-nya. Tapi keramaiannya itu lihat! Luar biasa antusiasnya penonton ya!
Sandhy Sandoro… ceritanya! Maaf sekali lagi, kawan! Sudah buram, tidak kelihatan pula Sandhy Sandoro-nya. Tapi keramaiannya itu lihat! Luar biasa antusiasnya penonton ya!
Dari Sandhy Sandoro, saya kembali dulu ke AXIS Lounge, hendak menyelesaikan blog yang ditugaskan untuk hari itu. Habis itu, saya duduk-duduk di Lounge, sambil menunggu antrean untuk duduk di massage chair, karena kursi pijat itu memang merupakan fasilitas bagi pemegang kartu pas AXIS seperti saya, sebab di lembar Festival Guide yang berisi denah dan schedule itu, selain ada kupon gratis snack + minuman, memang juga ada kupon gratis pijat di kursi. Sayang, emosi yang kelewat terkuras membuat saya lupa mengabadikan massage chair itu. Oh, ya, mumpung sedang menyinggung soal foto, saya perlu meminta maaf pada kalian, sebab foto-foto saya kualitasnya kurang baik. Saya memang mengambil foto dari kamera HP yang kapasitasnya serba minim, resolusinya saja cuma 1,3 megapixel. Jadi, ya, harap maklum ya, kalau hampir semuanya buram, hihihi!
Aaahh!! Nikmat sekali rasanya sesudah dipijat! Betul-betul berkurang banyak penat saya. AXIS memang baik! Tauuu aja apa yang dibutuhkan pengunjung, haha!
Tadinya, usai dipijat, saya berencana mau melihat RAN juga sebentar. Hanya sayang, saya turun dari massage chair saja sudah jam setengah sebelas malam lewat sepuluh menit. Jadinya saya internetan saja sebentar, berhubung Lounge juga sudah mau ditutup, dan laptop-laptop sudah pada dibenahi. Setelah itu, saya bersiap pulang.
Saya menyusuri food court dan terus lewat di court tempat stand sponsor. Orang-orang masih pada ramai, baik yang makan, maupun karena masih ada acara di beberapa stand. Saya sempat mampir di satu stand yang paling ramai. Di situ masih ada acara. Sebelumnya, saat saya sedang berjalan-jalan untuk pertama kali di court tengah, di stand milik salah satu merek handphone paling terkenal itu sedang diadakan talk show dengan Kahitna.
Talk-show Kahitna di stand salah satu produk HP
Talk-show Kahitna di stand salah satu produk HP
Kali ini, acaranya beda lagi. Ada hiburan berupa ajakan kepada penonton yang punya kemampuan menyanyi untuk tampil. Dan waktu saya ke situ, salah seorang penonton didorong temannya untuk maju, mengikuti undangan sang pembawa acara yang lumayan kocak itu. Ternyata si penonton yang maju terpaksa itu seorang Taiwan. Masih berusia muda. Penampilannya biasa sekali. Tapi suaranya, waauuww!! Top abiiisss!! Dia menyanyikan L.O.V.E.-nya Nat King Cole dengan bagus sekali, diiringi band pengiring yang juga tak kalah hebat memainkan alat musik. Lagu itu sangat menghibur, mampu menggoyang penonton. Saya juga tak kalah terhiburnya. Lumayanlah kembali menyegarkan saya, sekali lagi dengan sajian jazz ringan.
Agak menyesal juga saya tidak bisa menyaksikan George Benson dan Carlos Santana. Selain karena untuk menonton keduanya harus membayar tiket khusus ―yang saya kurang sanggup bayar, huhuhu!―, Santana sendiri juga tidak tampil pada tanggal 6 itu, sedangkan tiket yang saya dapat dari AXIS adalah untuk tanggal 6. Tapi tak apalah! Saya sudah mendapat sangat banyak pengalaman dari Java Jazz ini.
Selagi dalam perjalanan menuju stasiun Gambir untuk mengambil kereta paling pagi, saya punya banyak waktu untuk berpikir.
Ada satu hal yang cukup bikin saya geli. Para penampil jazz, terutama yang dari luar negeri, semuanya berpenampilan sederhana, begitu casual dan sangat seadanya, walau tetap rapi. Artis jazz Indonesia juga, di antaranya Sandhy Sandoro (juga Indra Lesmana, yang tidak saya lihat penampilannya, tapi sempat berpapasan dengan saya di jalan menuju AXIS Lounge waktu saya baru tiba), cukup sederhana tampilannya. Tapi artis Indonesia lain yang bukan artis jazz, dan juga (apalagi!) para penonton orang Indonesia, itu yang penampilannya keren-keren bin necis abis! Saya sama sekali tidak menilai hal itu salah. Tidak! Itu hak siapa pun untuk berpenampilan sesuai keinginan masing-masing. Hanya saja, memang perlu kita renungkan lagi hakikat musik jazz itu sendiri. Jazz adalah anak kandung dari blues, genre musik yang lahir dari kalangan Afro-Amerika. Namanya saja blues, kelabu. Jadi musik ini memang merupakan ekspresi haru-biru kehidupan orang-orang kulit hitam, yang banyak terdiskriminasi dan terpinggirkan, yang merindukan diakuinya persamaan mereka sebagai manusia yang tidak berbeda dengan manusia mana pun di muka bumi Tuhan ini. Kerinduan itu amat bersahaja, karena memang amat mendasar, sesuai kodrat yang memang ditetapkan Sang Pencipta sendiri. Kerinduan itulah yang mendesak kuat dalam musik. Tak heran, kesederhanaan dan egaliterian blues menurun pula pada jazz dan keturunan lainnya seperti R ‘n B dan soul. Semangat persamaan, kerendahan hati, saling melayani, yang berpangkal dari humanitarian itulah yang senantiasa dijaga benar-benar oleh para insan jazz di mana pun di dunia.
Menyangkut soal bintang, yang saya tulis dalam blog saya di AXIS RTJJF Blog Competition, tak bisa terhindari, ada makna kaya ke-bintang-an yang terkandung dalam konsistensi dan komitmen kuat untuk menjaga semangat tersebut. Seorang bintang adalah seorang yang punya konsistensi dan komitmen kuat bagi dunianya. Namun konsistensi dan komitmen itu juga sama kuat untuk hal-hal luhur lain, seperti kemanusiaan, lingkungan hidup, nilai-nilai, dan kerohanian. Carlos Santana, contohnya. Kendati saya tidak menyetujui jalur paham humanisme yang dianutnya, tapi sebagai seorang humanis juga, saya amat menghormati komitmen dan kekonsistenannya dalam menegakkan kemanusiaan. Dan itu terbukti telah mendongkrak namanya dan kualitas musiknya, karena kualitas kepribadian seseorang adalah kunci penentu kualitas segala-galanya dari dirinya, termasuk kualitas kinerjanya, kualitas kehormatannya, dan lain sebagainya.
Singkatnya, untuk menjadi bintang, bukan keglamoran yang menjadi awalnya, melainkan kesederhanaan. Semua tubuh terdiri dari sel-sel sederhana. Semua lesatan lari terdiri dari satu unit langkah kaki tunggal. Maka, membangun karakter dan mutu bukan cuma sebaiknya, tapi memang seharusnya, diawali dari hal-hal yang sepele yang ditekuni secara serius dalam jiwa yang bersahaja namun dengan keteguhan keyakinan dan visi yang sangat jelas.
Banyak sekali yang saya dapat, dan saya bersyukur, karena Tuhan sekali lagi sangat bermurah hati menganugerahi saya pembelajaran-pembelajaran baru. Pengalaman ini takkan terlupakan seumur hidup. Mudah-mudahan, AXIS Java Jazz tahun depan bisa saya hadiri kembali! Amin! (Dan yang kali ini juga bisa membuahkan Galaxy Tab atau Blackberry Gemini! Amiiiinn!! Wkwkwkwkwkwkwk!!!)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger